Relevansi Keterbukaan Informasi Publik bagi Upaya Pemberantasan Korupsi (Hakekat Standarisasi 2-3-4-2)

Oleh: Hariyanto (Direktur K3D Kebumen)
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat kaya akan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara, tanpa kecuali. Salah satu Undang-Undang yang amat berpengaruh dan besar manfaatnya bagi penyelenggaraan pemerintahan dan akses masyarakat terhadap informasi publik yang dilaksanakan pemerintah adalah UU No.14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang ini mulai berlaku efektif sejak tahun 2010, terutama setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU No.14 Tahun 2008 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

Continue reading →

Dirgahayu Republik Indonesia ke 71

k3d

Lokakarya Teknis & Persiapan Pelaksanaan Program Indonesia Pintar 2016

BW Lokakarya PIP 2016_Website(1)Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) 2016, Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) menyelenggarakan Lokakarya Teknis dan Koordinasi Persiapan Pelaksanaan PIP melalui KIP 2016 dan Identifikasi Mekanisme Penjangkauan Anak Tidak Sekolah untuk Menerima PIP/KIP. Acara diselenggarakan pada 5-6 April 2016 bertempat di Hotel Oria, Jakarta. Continue reading →

Study Analisis Kebijakan Mengenai Kawasan Dilarang Merokok (1)

KEOleh: Hariyanto (Direktur K3D Kebumen)

Rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, mengeluarkan peraturan bupati untuk mengatur larangan merokok patut diapresiasi. Namun demikian, akan lebih baik untuk mengatur kepentingan umum, sifat dari sebuah peraturan jangan sampai kontroversif dan kontradiktif. Dari beberapa peraturan yang sudah lebih terdahulu berjalan, seperti: Peraturan Bupati Sleman No 42 Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, Peraturan Bupati Tangerang No 16 Tahun 2012 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Rokok, lebih mengatur pada ruang publik sebagai kawasan yg bebas dari rokok.

Hal ini diikuti padi setiap tempat untuk menyediakan kawasan untuk bebas merokok sebagai bentuk penghormatan personal terhadap perokok. Bila di Kebumen, perbup yang akan dikeluarkan sifat nya adalah larangan merokok, maka akan menimbulkan polemik. Misal, perbup tentang larangan merokok, ini lebih bersifat mengatur secara personal pada setiap individu untuk tidak merokok, tidak mengatur ruang publik sebagai tempat yg bebas dari perokok. Harapan nya, kedepan untuk lebih supaya bersifat mengatur ruang publik, termasuk institusi pemerintahan sebagai kawasan yg bebas dari perokok, namun wajib diiringi penyediaan ruang khusus sebagai kawasan bebas merokok.

Perkembangan negara menuju negara yang mengglobal tampaknya cenderung menuju perkembangan yang sedikit merugikan. Hal tersebut tampak dari terjadinya penyalahgunaan konteks globalisasi yang diasumsikan sebagai paham yang bebas untuk mengekspresikan diri maupun bebas berperilaku. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku masyarakat yang cenderung hanya memikirkan diri sendiri dan meraih keuntungan bagi dirinya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Ditambah lagi kondisi lingkungan (kondisi untuk memperoleh kehidupan) yang memaksa mereka untuk melakukan hal tersebut, terlebih jika kondisi ini dipengaruhi oleh faktor sikap dan kebiasaan yang sangat sulit untuk diubah.

Hal tersebut juga tampaknya mulai mempengaruhi sektor kesehatan. Sekarang perilaku masyarakat semakin tidak mempedulikan kesehatan masyarakat (utamanya bagi orang lain). Sangat banyak contoh yang dapat kita temukan pada kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan plastik yang ditambah pada minyak goreng untuk membuat gorengan menjadi renyah dan gurih, penggunaan boraks pada bahan makanan atau hewan yang sudah mati (ayam tiren) sehingga setelah dimasak akan terlihat seperti baru dan tahan lama (dan berbagai jenis penggunaan boraks pada makanan yang dapat merugikan kesehatan masyarakat), penggunaan zat pewarna pakaian pada makanan untuk menarik perhatian, dan masih banyak contoh lain yang sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan hanya untuk meraih keuntungan pribadi dan sama sekali tidak memperhatikan dampak (akumulatif) yang akan diterima bagi kesehatan konsumen.

Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat yang memiliki kebiasaan merokok. Seperti yang telah kita ketahui bahwa asap rokok memiliki sifat yang berbahaya bagi orang yang menghisapnya, karena asap rokok mengandung nikotin dan tar yang dapat menyebabkan kecanduan dan dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru. Dari penelitian telah diketahui bahwa orang yang berperan sebagai perokok pasif (orang bukan perokok yang menghirup asap rokok) memiliki resiko yang lebih besar mengalami gangguan kesehatan akibat rokok daripada orang yang berperan sebagai perokok aktif (orang yang merokok), dan jika hal tersebut dikaitkan dengan kondisi perokok yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai perokok pasif, maka hal tersebut tentu akan sangat membahayakan masyarakat yang berada pada lingkungan sekitar perokok aktif, terutama apabila terdapat anak-anak yang kemungkinan akan mengalami gangguan pertumbuhan maupun gangguan kesehatan akibat menghirup asap rokok.

Kondisi tersebut sebenarnya sangat sulit untuk dihindari maupun ditanggulangi, sebab hal tersebut sangat berhubungan dengan kebiasaan dan perilaku masyarakat yang sangat sulit untuk diubah. Meskipun demikian pemerintah tidak lepas tangan begitu saja, terlihat dari dibuatnya kebijakan-kebijakan yang lebih memperhatikan kesehatan masyarakat seperti pengadaan area bebas rokok, pembuatan tempat bagi perokok (tempat untuk merokok), hingga pembuatan peraturan tentang larangan merokok di tempat umum beserta sangsinya). Namun kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk tetap merokok ditempat-tempat tertentu maupun pada waktu tertentu, yang kemudian hal tersebut menjadi kebiasaan untuk melanggar peraturan-peraturan maupun melanggar kebijakan-kebijakan tersebut akibat faktor –faktor tertentu.

Pelaksanaan Peraturan Gubernur DKI Jakarta tentang Kawasan Dilarang Merokok.

Peraturan Gubernur tentang kawasan dilarang merokok yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 merupakan suatu kebijakan tentang penanganan polusi udara yang timbul akibat asap rokok, mengingat asap rokok mengandung zat yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Peraturan tersebut juga mengacu pada Perda No.2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Peraturan tersebut juga memiliki dasar bahwa untuk udara yang sehat dan bersih merupakan hak bagi setiap orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan, guna terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Disebutkan pula pada Pergub. Provinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005, bahwa sasaran kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Yang kemudian sebagai kompensasi bagi perokok disediakan kawasan khusus untuk merokok yang tempatnya terpisah secara fisik atau tidak bercampur dengan kawasan dilarang merokok, dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara, dilengkapi asbak atau tempat pembuangan puntung rokok, dapat dilengkapi dengan data dan informasi bahaya merokok bagi kesehatan.

Disebutkan pula pada penerapan peraturan, pengawasan dilakukan oleh Perangkat Daerah bersama-sama masyarakat dan/atau organisasi kemasyarakatan, seperti BPLHD, Dinas Kesehatan, Dinas Tramtib dan Limas, Dinas Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi,Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan,Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial, Walikota/Bupati, dan Perangkat Daerah lain sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Kemudian hasil pengawasan akan dilaporkan kepada Gubernur melalui Asisten Kesejahteraan Masyarakat setiap 3 bulan sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Jika ditemukan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan atau usaha, pencabutan izin, apabila ditemukan terjadi pelanggaran di suatu kawasan dilarang merokok oleh penanggung jawab maupun pimpinan kawasan tersebut (apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok). Demikian pula sanksi akan diberikan kepada orang yang merokok pada kawasan dilarang merokok, dengan bentuk sanksi sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan/atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peraturan tersebut telah berlaku semenjak peraturan tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 23 Juni 2005. Yang kemudian coba untuk diterapkan dan disosialisasikan pada 89 pengelola kantor di kawasan Thamrin, Jakarta, namun respon positif hanya ditemukan pada 31 pengelola gedung dan memberikan pernyataan bersedia menyediakan tempat khusus untuk merokok.

Masalah Perilaku dan Kebiasaan Merokok Masyarakat terhadap Peraturan Kawasan Merokok

Pada dasarnya perilaku dan kebiasaan masyarakat sangat sulit untuk diukur, namun kenyataannya perilaku dan kebiasaan tersebut dapat dilihat dan diamati dalam jangka waktu tertentu, baik dalam waktu yang singkat maupun dalam waktu yang cukup panjang. Perilaku tersebut merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak kita sadari bahwa interaksi-interaksi yang terjadi tersebut sangat kompleks sehingga terkadang kita tidak sempat untuk memikirkan kenapa perilaku tersebut dilakukan oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.

Menurut Notoatmojo (1985) yang menyebabkan seseorang berperilaku karena adanya empat alasan pokok, yaitu:

1. Pemikiran dan Perasaan (Thought and Feeling)

Adapun bentuk dan perasaan ini adalah Pengetahuan, Kepercayaan, Sikap, dan Nilai. Disinilah pentingnya sebuah informasi akan adanya kebijakan maupun peraturan baru yang akan diterapkan di suatu daerah. Suatu informasi merupakan langkah awal dalam menentukan suatu program atau kebijakan dapat dikatakan berhasil atau tidak. Dengan penyampaian informasi yang baik kepada sasaran maka akan terbentuk pengetahuan yang baik yang kemudian diikuti dengan penentuan kepercayaan, sikap dan nilai yang memiliki sifat positif terhadap suatu kebijakan. Sama halnya dengan penyebarluasan informasi tentang kawasan dilarang merokok, diperlukan sosialisasi yang baik hingga masyarakat memiliki kesadaran dan sikap yang dapat membantu keberhasilan kebijakan yang dibuat.

2. Orang penting sebagai Referensi
Bila seseorang penting, maka apa yang dilakukan cenderung untuk di ikuti oleh orang lain. Dari hal inilah masyarakat sering berpendapat bahwa “orang lain saja boleh merokok di kawasan tersebut (kawasan dilarang merokok), lalu kenapa saya tidak ?”, sehingga terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, terlebih lagi jika orang yang dijadikan referensi tersebut merupakan orang yang memiliki jabatan di pemerintahan. Contoh lain adalah larangan merokok pada kawasan SPBU, masih banyak karyawan SPBU yang merokok pada kawasan SPBU yang menyebabkan pengunjung ikut merokok di kawasan SPBU.

3. Sumber Daya (Resources)
Sumber daya meliputi sarana, dana, waktu, tenaga, pelayanan, keterampilan dan bahan. Dalam konteks ini, sumber daya dapat berupa ketersediaan rokok yang dengan sangat mudah dijangkau (diakses) oleh siapapun, sehingga memungkinkan setiap orang untuk merokok dimana pun dan kapanpun mereka inginkan.

4. Budaya (Culture)
Perilaku, norma, kebiasaan, dan nilai-nilai serta penggunaan sumber daya didalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Pada dasarnya semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia dapat menjadi suatu kebiasaan yang kemudian dapat menjadi budaya. Seperti halnya dengan merokok yang semakin lama semakin menjadi budaya yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Terkadang pelanggaran yang dilakukan juga akan menjadi budaya “melanggar” akibat terbiasanya melakukan pelanggaran. Manusia cenderung mengulangi perilaku yang dianggapnya aman untuk dilakukan, seperti contoh orang yang merokok pada kawasan dilarang merokok, karena orang tersebut tidak merasa ada yang perlu ditakuti (tidak ada sangsi yang menghukumnya pada saat itu juga), maka orang tersebut cenderung akan mengulangi perbuatannya tersebut di lain waktu (merokok pada kawasan dilarang merokok).

Dari alasan-alasan pokok tersebut, kita dapat mengetahui seberapa besar kepatuhan seseorang terhadap peraturan-peraturan yang telah dibuat khususnya terhadap peraturan kawasan dilarang merokok. Oleh karena itu perlu dilakukan penerapan kebijakan yang dibarengi dengan pengawasan dan penanggulangan terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat selaku sasaran kebijakan maupun peraturan-peraturan.

Jika ditinjau dari pemikiran dan alasan kenapa orang merokok, maka kemungkinan perokok tidak tahu dan percaya akan keberadaan peraturan larangan merokok di kawasan tertentu yang bersifat mengikat dan memiliki sangsi apabila dilanggar. Hal tersebut terjadi kemungkinan akibat kurangnya sosialisasi dan penegakan peraturan yang tegas dan konsisten oleh pihak yang berwenang, sehingga masyarakat merasa tidak memiliki kewajiban untuk merokok atau tidak merokok pada kawasan tertentu. Hal tersebut dapat kita lihat langsung (dapat dilihat pula pada televisi) bahwa masih terdapat masyarakat yang merokok pada daerah yang tidak sepantasnya, padahal peraturan tersebut sudah dibuat semenjak tahun 2005, bahkan tidak jarang mayoritas perokok adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang seharusnya bertindak sebagai contoh dan panutan bagi masyarakat.

Kemudian dapat kita perhatikan juga bahwa penegakan kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan kerjasama dari instansi lain seperti pabrik rokok maupun penyelenggara kebijakan lainnya (bea cukai), sehingga terjadi ketimpangan dan perbedaan persepsi yang kemungkinan besar terjadi akibat adanya kepentingan pribadi (conflict of interest) antar instansi, sehingga tidak terbentuk komitmen yang solid untuk menjalankan peraturan yang berlaku. Sehingga masyarakat masih memiliki kesempatan dan peluang besar untuk merokok di tempat tertentu. Hal tersebut menyebabkan besarnya kemungkinan masyarakat untuk merokok pada kawasan dilarang merokok. Hal tersebut juga terjadi pada masyarakat miskin perokok yang dengan mudah membeli atau mengakses rokok, selain itu harganya juga sangat jarang mengalami kenaikan.

Dapat kita lihat bahwa cukai rokok Indonesia hanya 30% dan menduduki posisi kedua cukai rokok terendah di dunia setelah Laos jika dibandingkan dengan cukai rokok negara lain yang mencapai 50%. Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan tujuan utama kebijakan untuk membersihkan udara dari polusi semakin jauh dari sasaran. Itu jika kita melihat kondisi masyarakat miskin sebagai sebagian kecil dari populasi, kemungkinan kondisi tersebut akan memburuk jika kita melihat pada sisi masyarakat yang memiliki uang untuk membeli rokok.

Dapat disimpulkan bahwa masyarakat miskin yang memiliki sedikit uang saja dapat membeli beberapa batang rokok setiap harinya, terlebih pada masyarakat yang memiliki banyak uang kemungkinan besar akan lebih banyak menghasilkan asap rokok, dengan asumsi orang kaya tersebut membeli lebih banyak rokok dari orang miskin, jadi semakin banyak orang yang harus diatur untuk mengikuti peraturan yang dibuat khususnya tentang kawasan dilarang merokok. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, dapat kita bayangkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatur orang dalam merokok sangatlah sulit untuk diterapkan, terlebih jika kita melihat sikap dan perilaku masyarakat yang sangat beragam, bahkan kemungkinan besar kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan optimal.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk dapat bekerjasama antar instansi atau lembaga dalam melaksanakan maupun membuat kebijakan, yang pada akhirnya akan terbentuk komitmen yang kuat demi kepentingan bersama. Bahkan setelah adanya pemberian berbagai insentif bagi daerah yang berhasil menanggulangi masalah pencemaran udara oleh pemerintah pusat, seharusnya dapat menambah motivasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.

Selain itu disebutkan pula bahwa sanksi yang terdapat pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang menyatakan bahwa telah ditentukan pelanggaran yang terjadi dapat dikenakan tuntutan pidana yaitu kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), namun pada kenyataannya masih kita temui bahwa sanksi tersebut sangat jarang untuk diterapkan, bahkan tidak pernah sama sekali.

Selain itu sanksi yang diterapkan hanya berupa hukuman push-up di tempat apabila terbukti dan kedapatan langsung merokok di kawasan dilarang merokok dan terkadang hanya diberikan peringatan secara lisan yang dampaknya tidak akan bertahan lama untuk membuat jera para perokok. Dari sana kita dapat melihat bahwa tidak ada konsistensi dan ketegasan terhadap penegakan sanksi terhadap pelanggaran peraturan, padahal penegakan sanksi sangatlah penting untuk menimbulkan efek jera kepada para tersangka agar tidak mengulangi perbuatan yang sama di lain waktu.

Dari bahasan diatas dapat dikatakan bahwa banyak hal yang kemungkinan dapat menyebabkan tidak terlaksananya (dengan baik) peraturan tentang kawasan dilarang merokok. Hal-hal tersebut diantaranya : kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang kawasan dilarang merokok oleh pemerintah yang nantinya dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap peraturan kawasan dilarang merokok, kurangnya komitmen dari dari seluruh lapisan masyarakat (utamanya penyelenggara kebijakan atau pemerintah), penyediaan rokok yang tidak terkontrol dan kurang konsistennya sangsi yang diberikan untuk dapat dilaksanakan.

Alternatif yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi Masalah yang Timbul

Sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menutupi permasalahan yang mungkin akan timbul. Kemungkinan semua permasalahan yang timbul akan bermuara pada komitmen dalam merencanakan dan melaksanakan suatu kebijakan maupun peraturan.

Terlebih dahulu diperlukan sosialisasi dan penyampaian pesan yang baik kepada masyarakat sebagai sasaran akan adanya penerapan atau pelaksanaan suatu kebijakan maupun peraturan. Sosialisasi tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang peraturan yang akan diterapkan, sehingga masyarakat dapat membentuk sikap dan perilaku yang positif terhadap peraturan tersebut. Oleh karena itu diperlukan komunikasi yang baik antar kelompok, antar organisasi, dan antar individu yang tidak melupakan aspek budaya masyarakat sekitar, yang dapat disampaikan baik melalui media massa, maupun media elektronik yang disampaikan secara jelas.

Setelah itu diperlukan komitmen bersama dalam melaksanakan peraturan. Bukan hanya masyarakat yang menjadi objek penerapan peraturan, tetapi diperlukan juga peran serta dari pihak pemerintah selaku pembuat kebijakan yang seharusnya terlebih dahulu mengetahui dan melaksanakan peraturan dengan sebaik-baiknya, dengan demikian akan terlihat bahwa adanya keseriusan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan maupun peraturan yang ada. Selain itu tampak adanya keseriusan dalam memecahkan suatu permasalahan dan dapat menjadi referensi bagi orang lain. Oleh karena itu sangat diperlukan pelaksanaan tugas yang baik dari petugas (dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PNS) sebagai pengawas dan penegak peraturan. Penyelenggaraan peraturan dan sanksi juga harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten. Pada kondisi seperti ini penyelenggaraan peraturan yang tegas dan konsisten juga merupakan salah satu cara yang dapat memberikan perubahan perilaku masyarakat sehingga dapat memberikan efek jera. Tata laksana, pengawasan dan pemberian sanksi harus disesuaikan dengan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, oleh karena itu diperlukan pertimbangan yang matang dalam membuat peraturan sehingga tidak menimbulkan ketimpangan dengan peraturan lainnya dan meminimalisir celah terhadap terjadinya pelanggaran.

Tidak terlepas dari peranan PPNS, perlu diberikan fungsi dan tugas yang jelas selaku pengawas penerapan suatu kebijakan. Dalam konteks peraturan kawasan bebas rokok, tidak disebutkan bahwa PPNS memiliki kewajiban untuk memberikan sanksi kepada pelanggar apabila terbukti bersalah, PPNS hanya diberikan wewenang untuk mencatat informasi, menyita, mengambil gambar, melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian, dll. yang sama sekali tidak memberikan efek jera kepada pelanggar sehingga peraturan tersebut terkesan tidak serius dilaksanakan. Bahkan masyarakat tidak mengetahui akan wewenang, tugas dan keberadaan PPNS tersebut sebagai bagian dari badan yang berada dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI, sehingga terkadang masyarakat tidak memiliki rasa segan kepada petugas PPNS. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan atau pun pembentukan badan/instansi yang memiliki wewenang dan tugas yang jelas dalam melaksanakan peraturan, utamanya dalam memberikan sanksi kepada pelanggar sehingga terdapat mekanisme yang jelas dalam menerapkan sanksi yang berlaku.

Integrasi dengan instansi lain juga memiliki peran yang penting dalam melaksanakan dan memastikan kelancaran suatu peraturan maupun kebijakan. Khususnya dalam melaksanakan peraturan tentang kawasan bebas asap rokok, salah satunya dengan pengembangan kebijakan dari sektor produksi rokok maupun pengelola keberadaan rokok yang terkait. Peningkatan cukai dirasa sangat efektif dalam mengurangi pengeluaran biaya untuk bidang kesehatan, selain itu peningkatan cukai juga dapat mengurangi jumlah konsumsi rokok oleh masyarakat. Semoga, sumbang sih tulisan ini baik langsung maupun tidak langsung dapat membantu dan mendukung tercapainya tujuan Pemerintah Daerah Kebumen untuk membuat kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, yaitu untuk menciptakan udara yang bersih dan layak untuk digunakan sebagaimana mestinya.

PENULIS:
HARIYANTO
KETUA K 3 D KEBUMEN

sumber: koran Kebumen Ekspress, Kamis, 10 Maret 2016

Enam Perda Urusan Wajib Pemerintah Daerah Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014

uu 23UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 merubah wajah hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara hukum maka UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, dan dalam masa 2 (dua) tahun kedepan seluruh perubahan dan peraturan pelaksanaan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 harus ditetapkan. Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk masyarakat.

Padahal substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam UU No 23 thn 2014.

Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib dan Urusan Pilihan untuk Pemerintah Daerah, dan pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang langsung dimasukkan dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014, tidak dibuat menjadi Peraturan Pemerintah seperti pada UU No. 32 tahun 2004 (PP 38 tahun 2007 yang mengatur hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah). Apa arti Perubahan ini baik bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimana tanggung jawab dan kewenangan masing masing Pemerintah tersebut?

Pengertian Desentralisasi
UUD 1945 telah mengamanahkan pada pasal 18 bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Amanah Konstitusi ini pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 2 bahwa: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Pasal 3 menegaskan bahwa Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai

Pemerintahan Daerah.
Secara jelas dalam pasal 8 diuraikan bahwa pembinaan dan pengawasan (Binwas) untuk semua penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di daerah melakukan Binwas atas penyelenggaraan urusan pemerintahan di Provinsinya.
Konsep Desentralisasi dalam UU No. 23 Tahun 2014 ini adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom.. Sedangkan pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Urusan Pemerintah Pusat apa sajakah yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota?

Urusan Pemerintahan
Secara garis besar ada 3 (tiga) urusan Pemerintahan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 ini, yaitu Urusan Pemerintahan Absolut, Konkuren dan Umum. Urusan pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti politik luar negeri; pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama. Urusan Umum adalah urusan yang menjadi urusan pemerintahan baik di Pusat, Provinsi atau Kabupaten/ Kota, seperti: penanganan konflik, pembinaan kebangsaan, kordinasi tugas antar instansi Pemerintah, dll.

Urusan Pemerintahan Konkuren adalah adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/ kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah inilah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan Konkuren dibagi menjadi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Sedangkan Urusan Wajib dibagi menjadi Pelayanan Dasar dan Non Pelayanan Dasar. Urusan pemerintahan Wajib dan menjadi Pelayanan Dasar ada 6 (enam) urusan, yaitu: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial (pasal 12).

Bagaimana pembagian kewenangan urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi (Pemprov), dan Pemerintah Kabupaten/ Kota (Pemkab)? Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pembagian peran ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP 38 tahun 2007 mengatur pembagian kewenangan untuk 31 sektor pembangunan). Namun karena bersifat PP maka pembagian ini bisa dilanggar bila ada UU khusus yang dibuat untuk sektor tersebut. Misal UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dapat membuat pembagian kewenangan sendiri yang tidak sejalan dengan pembagian kewenangan sektor kesehatan pada PP 38/2007. Sehingga pada UU No. 23 Tahun 2014 maka pembagian kewenangan ini dimasukkan kedalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari UU ini.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Sebagai Ijab-Qobul
Pada pasal 18 ditentukan bahwa Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Juga ditekankan bahwa Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Dengan kata lain, Pemprov dan Pemkab/Kota wajib memprioritaskan 6 (enam) urusan Pelayanan Dasar yang disebut pada Pasal 12, yaitu : pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial. Artinya keenam program pelayanan dasar ini mendapatkan prioritas pembiayaan, SDM, Sarana/prasarana, dan manajemennya sehingga bisa berjalan baik ditingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, dimana pada pasal 9 sudah disebutkan bahwa Urusan Pemerintahan Konkuren inilah yang menjadi dasar Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib Pelayanan dasar dan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar. Pada sisi Pemerintah Daerah, pada pasal 236 diatur bahwa Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Peraturan Daerah (Perda). .Sedangkan pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Diuraikan lebih lanjut bahwa Materi Perda adalah :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
2. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi, dan
3. Materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Kalau kita analogikan dengan Proses Perkawinan sepasang sejoli yang akan menikah didepan Penghulu, maka proses Desentralisasi yaitu penyerahan sebagian kewenangan Urusan Pemerintahan Pusat kepada Pemerintah Daerah (Urusan Konkuren) dan Tugas pembantuan adalah sebagai IJAB Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Urusan Pemerintah Pusat yang diserahkan diatas menjadi Otonomi Daerah, maka Pemda harus membuat Perda. Sehingga Pembuatan Perda Urusan Yang diserahkan Pusat tadi menjadi QOBUL bagi sahnya secara hukum bahwa Pemerintah Daerah menerima kewenangan yang diserahkan Pemerintah Pusat diatas.

Enam Perda Wajib Yang Minimal Dibuat Daerah

Telah diuraikan bahwa ada enam urusan Wajib Pelayanan Dasar yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Urusan Pemerintahan Wajib Pelayanan Dasar ini pelaksanaannya harus diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah. Disisi Pemerintah Daerah, untuk menerima enam urusan Wajib Pelayanan Dasar ini, dan melaksanakannya sebagai otonomi daerah maka setiap urusan tersebut harus dibuatkan “PERDA” untuk masing masing urusan. Dengan kata lain ada Pekerjaan Rumah bagi Pemerintah Daerah dan DPRD nya untuk menyusun 6 (enam) Perda Urusan Wajib pelayanan Dasar agar dapat dilaksanakan menjadi urusan dan kewenangan Otonomi daerah. Sehingga setiap Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyusun 6 (enam) Perda Urusan, yaitu:

  1. Perda Urusan Pendidikan,
  2. Perda Urusan Kesehatan,
  3. Perda Urusan Pekerjaaan Umum dan Tata ruang,
  4. Perda Urusan Kamtibmas,
  5. Perda Urusan Perumahan rakyat, dan
  6. Perda Urusan Sosial.

Penulis:
HARIYANTO
Direktur K 3 D KEBUMEN